Ojol Populer, Tapi Benarkah Layak Jadi Angkutan Umum?
OJEK online telah mengubah wajah mobilitas kota, tetapi
dibalik kenyamanannya tersimpan pertanyaan besar tentang keselamatan, hukum,
dan arah masa depan transportasi kita.
Sulit membayangkan kehidupan kota hari ini tanpa ojek online
. Layanan ride-hailing ini telah menjadi pilihan utama banyak orang, entah
untuk berangkat kerja, menghadiri rapat mendadak, atau mengejar janji penting
di tengah padatnya lalu lintas. Popularitasnya pun meluas hingga ke layanan
pesan-antar makanan seperti GoFood dan GrabFood yang kini begitu akrab dalam
keseharian. Dari urusan transportasi hingga memenuhi kebutuhan perut, semuanya
terasa mudah hanya dengan beberapa ketukan di layar ponsel.
Keunggulan ojol terletak pada fleksibilitas dan layanan
door-to-door , sesuatu yang sulit ditandingi angkutan umum konvensional. Bagi
masyarakat Indonesia yang enggan berjalan kaki jauh, model layanan ini seakan
menjawab kebutuhan mereka. Tak heran jika popularitas ojol terus meroket, bukan
hanya karena jalanan macet, tetapi juga karena angkutan umum yang tersedia
belum sanggup memberikan kenyamanan dan keandalan yang semestinya.
Namun muncul pertanyaan penting: apakah ojol layak disebut
sebagai angkutan umum? Pantaskah ia disetarakan dengan bus dan kereta
perkotaan, seperti KRL, MRT, atau LRT yang selama ini menjadi tulang punggung
mobilitas di kota besar, bahkan dengan angkot yang masih mendominasi di banyak
daerah? Dibandingkan dengan taksi yang sudah berstatus resmi sebagai angkutan
umum pun, posisi ojol tetap menyisakan persoalan. Popularitasnya memang tak
terbantahkan, bahkan telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan.
Tetapi di balik fleksibilitas dan kecepatannya, ada hal-hal mendasar yang tidak
bisa diabaikan: mulai dari dasar hukum, aspek keselamatan, hingga arah
kebijakan transportasi nasional. Semua ini patut direnungkan bersama, sebelum
negara melangkah terlalu jauh sekadar mengikuti arus selera pasar.
Siapa Melindungi Penumpang Ojol?
Dalam kerangka hukum transportasi kita, posisi ojek online
memang masih lemah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan secara tegas menyebut bahwa angkutan umum hanya boleh
menggunakan mobil penumpang, bus, atau mobil barang. Sepeda motor tidak
termasuk di dalamnya. Artinya, secara hukum ojol tidak diakui sebagai angkutan
umum. Selama ini operasionalnya berjalan dengan sandaran pada aturan teknis,
yakni Permenhub Nomor 12 Tahun 2019, yang mengatur soal tarif, perlengkapan
keselamatan, dan kewajiban aplikasi. Regulasi ini sifatnya sementara, lebih
sebagai jembatan kebijakan, bukan pengakuan penuh setingkat undang-undang.
Konsekuensinya jelas: selama ojek online tidak diakui dalam
undang-undang, posisi pengemudi maupun penumpang akan tetap rapuh ditinjau dari
aspek perlindungan hukum. Jika terjadi insiden di jalan, mulai dari kecelakaan,
sengketa tarif, hingga persoalan klaim asuransi, mereka tidak memiliki dasar
kuat untuk menuntut ganti rugi sebagaimana pengguna angkutan umum resmi. Aturan
teknis yang ada saat ini sebatas mengatur operasional, bukan memberikan jaminan
hak dan kewajiban.
Sementara itu, jika pemerintah memilih merevisi undang-undang
untuk memasukkan ojol sebagai angkutan umum, maka ada konsekuensi besar. Negara
seakan bergeser dari filosofi membangun transportasi yang aman dan
berkelanjutan, menuju pilihan kebijakan yang lebih pragmatis: mengikuti arus
besar penggunaan ojol dan kepentingan industri aplikasi, ketimbang berpegang
pada arah pembangunan transportasi jangka panjang.
Jalan Licin, Hujan Deras, Ojol Bisa Aman?
Dalam konteks keselamatan, risikonya terlihat jelas. Data
Polri menunjukkan lebih dari 70 persen kecelakaan lalu lintas di Indonesia
melibatkan sepeda motor. Angka ini konsisten dari tahun ke tahun, menegaskan
bahwa roda dua adalah moda paling rentan di jalan raya. Persoalannya, bila
digunakan secara pribadi, risiko itu ditanggung penuh oleh pengendara. Namun
begitu dijadikan angkutan umum, negara berkewajiban memberi jaminan keselamatan
penumpang. Ojek online memang menawarkan kecepatan dan fleksibilitas, tetapi
sifat dasarnya sebagai kendaraan roda dua membuatnya sulit disetarakan dengan
angkutan umum resmi yang memiliki standar keamanan lebih tinggi.
Kalau dilihat dari standar keselamatan, perbedaan antara
angkutan umum sesuai Undang-undang dan sepeda motor sangat mencolok. Bus,
kereta, maupun taksi dilengkapi perlindungan fisik, seperti karoseri, sabuk
pengaman, dan sistem peredam benturan. Sebaliknya, sepeda motor hanya
mengandalkan helm sebagai pelindung utama, yang hanya melindungi kepala. Begitu
kecelakaan terjadi, pengendara maupun penumpang langsung berhadapan dengan
aspal tanpa perlindungan lain yang memadai.
Risiko makin besar karena sepeda motor bukan hanya minim
perlindungan, tetapi juga rentan dari sisi stabilitas. Jalan berlubang,
permukaan licin, atau manuver mendadak dengan mudah bisa menjatuhkan pengendara
bersama penumpangnya. Ukurannya yang kecil sering membuat motor luput dari
pandangan pengemudi bus atau truk, sehingga rawan terserempet atau tertabrak.
Saat hujan, bahaya bertambah: jarak pandang menurun, cengkeraman ban melemah,
dan kendali semakin sulit dipertahankan. Semua kerentanan ini menegaskan bahwa
motor sejak awal tidak pernah dirancang sebagai angkutan umum. Karena itu,
menempatkan ojol dalam kategori yang sama dengan bus atau kereta justru
mengabaikan prinsip dasar keselamatan transportasi.
Ojol Membanjiri Jalan, Transportasi Massal Tersisih?
Kota-kota kita kian terjebak dalam kemacetan, udara kotor,
dan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat pesat. Para ahli transportasi
sepakat, jalan keluarnya ada pada angkutan massal, seperti BRT, MRT, LRT, dan
kereta komuter yang kini mulai hadir di berbagai kota besar. Tetapi alih-alih
mendukung arah ini, ojek online justru menambah beban: ribuan motor membanjiri
jalan, parkirnya sering menutup sebagian badan jalan, menambah kesemerawutan
lalu lintas, dan efisiensinya semu. Motor mungkin kecil dan irit secara
individual, tapi dalam jumlah besar justru membuat lalu lintas padat, energi
boros, dan cita-cita transportasi massal yang teratur dan efisien makin jauh
dari kenyataan.
Jika tren ini terus dibiarkan, apalagi bila ojol dilegalkan
sebagai angkutan umum, masyarakat akan semakin bergantung pada motor dan enggan
beralih ke transportasi massal. Kenyamanan layanan antar-jemput dari pintu ke
pintu membuat banyak orang lebih memilih ojol ketimbang berjalan kaki ke halte
atau stasiun. Akibatnya, investasi besar pada MRT, LRT, dan BRT berisiko tidak
mendapatkan penumpang yang memadai. Ojek online tetap bisa hadir dan memberi
manfaat, tetapi posisinya harus jelas: sebagai feeder service yang
menghubungkan rumah dengan halte atau stasiun. Dalam peran inilah ojol penting
menjadi pelengkap yang mendukung transportasi massal agar diminati, bukan
menggantikannya sebagai tulang punggung kota.
Transportasi Kita, Mau ke Mana?
Ojek online memang fenomena yang tidak bisa dihapus dari
kehidupan kota. Tetapi apakah popularitas semata cukup untuk mengubah arah
kebijakan transportasi yang sudah benar? Negara berada dalam posisi dilematis:
tetap konsisten membangun transportasi massal yang modern dan efisien, atau
tergoda mengikuti tekanan politik dan popularitas ojol di masyarakat, demi
jutaan pengemudi yang menggantungkan hidupnya di jalan. Pertanyaannya, mau
dibawa kemana masa depan transportasi kota ini?
Masalahnya, hingga kini sepeda motor belum diakui
undang-undang sebagai angkutan umum. Pemerintah sebenarnya tahu persoalan ini,
tetapi membiarkan ojol berkembang tanpa dasar hukum lebih dari satu dekade.
Sikap seperti itu hanya menunda masalah: pengemudi dan penumpang tetap dalam
posisi rentan, sementara arah kebijakan transportasi menjadi kabur. Jika negara
benar-benar serius menata transportasi, seharusnya ada langkah berani: membuat
aturan khusus yang menempatkan ojol sebagai feeder , sambil menyiapkan revisi
undang-undang agar konsistensi kebijakan tidak terus dikorbankan demi
kepentingan jangka pendek.
Transportasi adalah warisan untuk anak cucu, bukan sekadar
urusan hari ini. Jika sejak awal arah kebijakan salah menjadikan sepeda motor
sebagai andalan mobilitas kota, maka yang diwariskan hanyalah kemacetan,
polusi, dan risiko keselamatan yang tiada henti. Pada akhirnya, ujian terbesar
bagi negara adalah keberanian menentukan pilihan: berpihak pada kemudahan
jangka pendek, atau membangun masa depan kota yang lebih manusiawi, teratur,
dan efisien.(***)
COMMENTS