Mau Serius Bereskan ODOL, Saatnya Menyasar Pemilik Barang dan Armada
SAMPAI kapan kita akan terus menyalahkan sopir, sementara
yang memberi perintah tetap tak tersentuh? Selama penindakan hanya menyasar
mereka yang di lapangan, ODOL akan terus jadi drama tahunan—ramai sejenak, lalu
hilang tanpa perubahan nyata. Kalau sungguh ingin menuntaskannya, bukankah
seharusnya kita mulai dari mereka pengambil keputusan, bukan hanya dari sopir
yang menjalankan perintah?
Demo Sopir Bukan Sekadar Penolakan
Demo sopir truk yang marak terjadi di beberapa daerah
belakangan ini seharusnya tidak dianggap sekadar bentuk penolakan terhadap
penegakan hukum semata. Aksi mereka mencerminkan puncak gunung es dari sistem
logistik yang tidak baik hingga penegakan hukum yang sering tebang pilih.
Persoalan ODOL ( Over Dimensi Overload ) bukan hal baru, ia sudah berlangsung
bertahun-tahun. Truk-truk gendut dengan muatan melampaui batas dan berdimensi
berlebih dibiarkan berlalu lalang di jalan raya, seolah-olah pelanggaran ini
adalah sesuatu yang normal dan bisa dimaklumi. Akibatnya nyata, kerusakan jalan
terus berulang, angka kecelakaan meningkat, dan biaya logistik membengkak.
Namun sayangnya, langkah penyelesaiannya selalu setengah hati.
Lalu ketika pemerintah akhirnya mulai mengambil langkah,
pendekatan pertama justru berupa sosialisasi langsung di jalan oleh polisi lalu
lintas kepada para sopir truk. Sayangnya, pendekatan ini dinilai kurang tepat,
bahkan juga rawan salah paham. Sudah jadi rahasia umum - setiap kali polisi
mendekati truk di jalan, sopir langsung cemas, mengira ini awal mula razia atau
penindakan. Alhasil, kesan yang muncul cuma satu: bahwa penegakan hukum hanya
menargetkan sopir di lapangan. Maka tidak heran jika demo sopir kembali muncul.
Bbukan karena menolak aturan, melainkan karena mereka merasa diposisikan
sebagai pihak yang paling bersalah.
Padahal, sopir bukanlah pihak yang menentukan ukuran bak
truk, apalagi jumlah muatan yang harus dibawa. Sering kali, mereka bahkan tak
punya pilihan untuk menolak ketika diminta membawa beban berlebih. Menolak
berarti kehilangan pekerjaan. Maka ketika mereka turun ke jalan, itu bukan
bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan: jangan hanya menghukum yang
menjalankan, sementara yang memerintah justru dibiarkan lepas tangan.
Kenapa Sopir yang Diincar
Selama ini, penanganan ODOL cenderung menggunakan pendekatan
“quick fix”: razia di jalan yang menyasar sopir, tanpa menyentuh akar masalah.
Yang terjadi? Sopir ditilang, truk ditahan, sementara pihak yang seharusnya
paling bertanggung jawab, yaitu pemilik barang, pemilik truk, hingga karoseri,
nyaris tak tersentuh. Padahal, pelanggaran muatan tidak terjadi secara
tiba-tiba. Itu adalah hasil dari keputusan bisnis yang keliru dan sistematis:
satu truk dipaksa mengangkut dua kali kapasitas demi menekan ongkos logistik.
Truk-truk dengan dimensi tak wajar seenaknya masih leluasa
di jalan nasional tanpa hambatan berarti. Banyak di antaranya telah
dimodifikasi agar lebih panjang atau lebih tinggi oleh karoseri, bahkan hingga
melampaui batas yang seharusnya tak mungkin lolos uji KIR. Namun kenyataannya,
kendaraan-kendaraan ini tetap bisa beroperasi di jalan umum. Sistem pengawasan
yang seharusnya menjadi pengendali justru mudah dilewati: data bisa
dimanipulasi, surat-surat bisa “diurus”, dan pengawasan bisa diakali. Uji KIR
yang seharusnya jadi alat kontrol bisa disiasati. Akibatnya, jalanan rusak
terus-menerus karena sistem pengawasan yang dibiarkan lemah. Maka pertanyaannya
bukan lagi siapa yang bersalah, tapi mengapa kita membiarkan pelanggaran ini
menjadi kebiasaan. Apakah semua ini semata-mata kesalahan sopir? Jelas bukan
mereka satu-satunya pelaku.
Kunci Penertiban ODOL Ada di Hulu, Bukan Sekadar di Jalan
Mau tuntas soal ODOL? Pemerintah harus berani ubah
pendekatannya secara mendasar. Penegakan hukum tidak cukup berhenti di hilir,
pada sopir di jalan atau petugas lapangan. Fokus utama seharusnya menyasar para
pengambil keputusan: pemilik barang yang memuat barang berlebihan, pemilik
armada yang memberi izin operasional, hingga karoseri yang memodifikasi truk di
luar batas wajar.
Di titik-titik inilah semua keputusan pelanggaran bermula,
namun selama ini justru titik-titik krusial tersebut sering luput dari
pengawasan. Imbauan atau sanksi administratif saja tidak cukup. Sudah saatnya
Pemerintah mengambil langkah yang lebih menyeluruh dan berani dalam menelusuri
struktur pelanggaran ini, agar tidak terus tumbuh anggapan bahwa penegakan
hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Tanpa keberanian menyentuh
aktor-aktor utama di balik rantai pelanggaran ODOL ini, seluruh upaya penertiban
hanya akan menjadi drama tahunan, seremonial belaka, ramai di permukaan, tapi
tidak pernah menyentuh akar persoalan.
Sangat disayangkan jika penegakan hukum terhadap ODOL hanya
berhenti pada sopir-sopir yang berada di posisi terlemah, sementara para
pemilik usaha dan pihak yang sebetulnya mengambil keputusan justru tidak
tersentuh oleh penegakan hukum. Padahal, dampak kendaraan ODOL pada kerusakan
jalan sangat nyata dan bukan kerugian recehan. Kementerian Pekerjaan Uumum
mencatat, bahwa setiap tahun, anggaran negara hingga Rp 40 triliun harus
digelontorkan hanya untuk memperbaiki jalan rusak akibat kendaraan ODOL.
Bayangkan, uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk membiayai
pendidikan, layanan kesehatan, atau memperkuat ketahanan pangan, bukan menambal
kerusakan akibat kelalaian penegakan hukum yang dibiarkan terus berulang.
Menata Ulang Ekosistem Logistik dan Membangun Sistem
Pengawasan Digital
Langkah awal yang mendasar adalah menata ulang ekosistem
logistik secara menyeluruh. Tarif angkutan barang harus disesuaikan dengan
biaya operasional yang realistis, bukan terus ditekan atas nama efisiensi semu
yang pada akhirnya mengorbankan keselamatan. Di saat yang sama, sistem upah dan
jam kerja sopir juga perlu ditata ulang agar lebih manusiawi dan adil. Selama
dunia usaha masih mementingkan “ongkos semurah mungkin dengan cara apa pun”,
praktik ODOL akan terus dianggap sebagai trik. Bukan pelanggaran hukum, tapi
solusi cepat yang diam-diam dibenarkan.
Ke depan, digitalisasi dalam sistem logistik bukan lagi
sebuah pilihan, melainkan keharusan, tak bisa lagi mengandalkan cara-cara
konvensional. Pemerintah perlu mempercepat adopsi teknologi seperti fleet
tracking , weigh-in-motion system , serta sistem pelaporan digital yang
terhubung dari titik muat hingga titik bongkar. Langkah ini tidak hanya akan
meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat pengawasan secara menyeluruh.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan operator logistik besar untuk
menumbuhkan budaya kepatuhan berbasis data. Dengan sistem yang transparan dan
saling terhubung, potensi pelanggaran bisa terdeteksi dan dicegah sejak awal,
sebelum truk-truk ODOL itu sampai ke jalan raya.
Kita bisa belajar dari kesuksesan Jepang dan Korea Selatan
dalam penataan sistem logistik yang tertib, transparan, dan berbasis teknologi.
Di Negeri Sakura, misalnya, setiap kendaraan barang wajib terintegrasi dengan
Freight Information Management System . Sistem ini memonitor tiga hal vital
secara real-time: rute yang dilalui, berat muatan, dan durasi perjalanan.
Hasilnya? Pemerintah dapat menganalisis pola perjalanan dan mendeteksi anomali,
termasuk indikasi kelebihan muatan, sejak dini.
Sementara itu, Korea Selatan menerapkan sistem logistik
berbasis digital bernama ILIS ( Integrated Logistics Information System ).
Sistem ini menghubungkan semua pemain - dari pemilik barang sampai operator
logistik - dalam satu jaringan yang saling mengawasi. Sistem ini juga mengatur
batas tarif angkutan ( freight rate ) yang adil dan transparan, guna mencegah
praktik banting harga yang sering mendorong muatan berlebih demi menekan biaya.
Yang lebih canggih, semua aktivitas logistik dapat dilacak secara real-time ,
mulai dari titik muat hingga titik bongkar. Jika terjadi pelanggaran, seperti
kelebihan muatan atau manipulasi tarif, sistem ini memungkinkan penindakan yang
menyasar seluruh pihak yang terlibat. Tidak hanya sopir, tetapi juga pemilik
barang dan penyedia jasa logistik. Sanksinya beragam, mulai dari administratif
hingga pencabutan izin usaha. Pendekatan yang menyeluruh ini menjadikan sistem
logistik Korea Selatan tak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.
Membangun sistem seperti ini tentu membutuhkan investasi dan
waktu, namun manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar. Dengan sistem
transparan yang berjalan otomatis, budaya taat aturan akan tumbuh alami.
Bandingkan dengan sekadar razia atau patroli yang efeknya cuma sesaat, seperti
obat penghilang rasa sakit yang tak menyembuhkan akar penyakit.
Tegas Itu Perlu, Saatnya Bertindak Pasti
Saatnya pemerintah bertindak nyata, berani, konsisten dan
transparan, bukan sekadar membuat aturan. Pemerintah tak seharusnya bersembunyi
di balik dalih “pendekatan manusiawi” jika pada kenyataannya itu hanya menjadi
alasan untuk menghindari tindakan tegas terhadap pelaku usaha besar. Keadilan
bukan soal menyamakan perlakuan, melainkan soal menempatkan tanggung jawab
sesuai posisi dan kekuasaan masing-masing. Jangan sampai beban kesalahan justru
ditumpahkan kepada sopir di lapangan yang hanya menjalankan perintah, sementara
mereka yang mengambil keputusan tetap bebas tanpa konsekuensi.
Truk-truk ODOL itu seperti bom waktu. Setiap hari mereka
melintas, jalan-jalan kita makin rusak, angka kecelakaan meningkat, dan uang
negara terus terkuras hanya untuk perbaikan. Semakin lama penindakan menyeluruh
ditunda, semakin besar pula risiko yang harus ditanggung masyarakat. Setiap
hari keterlambatan itu berlangsung, berarti kita diam-diam ikut membiarkan
jatuhnya korban berikutnya di masa depan.
Penegakan Hukum Harus Menyentuh Pengambil Keputusan
Jika akar masalah ODOL tidak segera dibenahi, maka aksi
protes sopir truk jadi agenda tahunan yang terus berulang. Ketimpangan dalam
penegakan hukum akan menjadi bara dalam sekam, siap meledak kapan saja. Sopir
yang berada di lapangan akan terus menjadi tameng, menanggung beban aturan,
sementara pemilik barang dan armada. Pihak yang sebenarnya memiliki kuasa untuk
mencegah ODOL, tetap melenggang tanpa gangguan.
Karena itu, jika penanganan ODOL benar-benar ingin
diselesaikan, maka fokus penegakan hukum harus dimulai dari mereka yang berada
di puncak pengambilan keputusan. Mereka yang mengatur muatan, mengizinkan
armada beroperasi, di situlah perubahan harus dimulai.(***)
COMMENTS